Tren Quiet Quitting di Jepang: Fenomena Baru di Dunia Kerja




Di tengah budaya kerja Jepang yang terkenal disiplin dan berdedikasi tinggi, muncul fenomena baru yang disebut quiet quitting. Istilah ini mengacu pada karyawan yang memilih untuk bekerja sekadar memenuhi tanggung jawab minimum tanpa melakukan upaya ekstra, seperti lembur tanpa bayaran atau mengambil proyek tambahan. Meski tidak benar-benar mengundurkan diri, mereka secara halus menarik diri dari ekspektasi kerja berlebihan yang selama ini melekat di masyarakat Jepang.  


Budaya Kerja yang Ekstrem 


Jepang memiliki tradisi kerja yang dikenal dengan istilah karoshi (kematian karena kerja berlebihan) dan black companies (perusahaan dengan praktik eksploitatif). Karyawan sering diharapkan untuk bekerja lembur tanpa kompensasi, menghadiri nomikai (pesta minum setelah kerja), dan mengutamakan perusahaan di atas kehidupan pribadi.  


Generasi muda Jepang, terutama Gen Z dan milenial, mulai menolak norma ini. Mereka menyadari bahwa kerja berlebihan tidak selalu sebanding dengan kesejahteraan hidup. Alih-alih keluar dari pekerjaan (yang masih dianggap tabu), banyak yang memilih quiet quitting sebagai bentuk protes diam-diam.  


Dampak Quiet Quitting di Lingkungan Kerja 


1. Perubahan Prioritas Karyawan  

   - Karyawan lebih memilih work-life balance daripada mengejar promosi.  

   - Mereka menolak lembur kecuali benar-benar diperlukan dan dibayar.  


2. Respons Perusahaan 

   - Beberapa perusahaan mulai mengurangi budaya lembur dan memperbaiki kondisi kerja.  

   - Namun, sebagian masih menganggap quiet quitting sebagai bentuk kemalasan atau kurangnya loyalitas.  


3. Pengaruh Media Sosial 

   - Konsep quiet quitting menyebar lewat platform seperti Twitter dan TikTok, membuat semakin banyak pekerja muda terinspirasi untuk menerapkannya.  


Masa Depan Quiet Quitting di Jepang 


Fenomena ini menandai pergeseran nilai kerja di Jepang. Jika perusahaan tidak beradaptasi dengan tuntutan generasi baru, quiet quitting bisa menjadi lebih umum. Di sisi lain, ini mungkin menjadi awal dari reformasi sistem kerja yang lebih manusiawi.  


Kesimpulan  


Quiet quitting bukan sekadar tren, melainkan gejala dari kelelahan terhadap sistem kerja yang tidak berkelanjutan. Di Jepang, di mana budaya kerja keras sangat dijunjung, fenomena ini menjadi tamparan keras bagi dunia korporat untuk berubah. Apakah ini akan memicu revolusi kerja yang lebih sehat? Hanya waktu yang bisa menjawab.  


Komentar